Pengembangan Kota-kota di Papua

Kota dari sisi  kelembagaan ekonomi politik

Sebuah kota memiliki biografi tersendiri. David Harvey dalam Rebel City (2012) menyatakan sejak dari dulu kota muncul melalui konsentrasi sosial dan geografis dari suatu surplus produksi. Harvey mengenalkan spatio temporal fixity dimana akumulasi kapital harus bekerja setelah menghancurkan tatanan yang ada, dan memasukkan investasi baru yang sesuai dengan kebutuhan mereka, para kapitalis . 

Beberapa kota di Indonesia berkembang pada masa kolonial. Preseden kota yang ditinggalkan oleh penghuninya bisa dilihat dari Sawah Lunto sebagai kota kolonial yang terkuras sumberdaya  alamnya. Preseden lain kota yang ditinggalkan dan menjadi surut perkembangannya adalah Kota Lhokseumawe yang redup setelah gas dan minyak di kawasan tersebut surut. Kota Lhokseumawe menyisakan besi tua dengan pelabuhan yang tidak terawat, masyarakat urban yang dulu menikmati kemegahan kota bermigrasi ke tempat lain. Sedangkan masyarakat lokal, petani dan nelayan tetap menjalankan aktivitas turun temurun mereka. 

Kota Agats di Distrik Asmat, merupakan Kota Baru yang menarik dijadikan preseden untuk melihat apakah kawasan Mandobo atau Djair memiliki keterbatasan yang sama. Kota Agats berkembang setelah nama Asmat mendunia, kemudian menjadi Pusat Wisata International. Sementara Distrik sebelahnya, Sawaerma merupakan bagian dsitrik yang paling maju ketika ada perusahaan HPH datang. Ketika kayu habis Distrik Sawaerma tidak terurus, semua lokasi yang dulu menjadi bagian dari infrastrukur kota modern rusak, karena masyarakat asli Papua suku Asmat tidak memiliki kebutuhan untuk pengelolaaan Kota yang modern tersebut, mereka memiliki habituasi untuk mereproduksi budaya asli mereka di hutan-hutan. HPH dulu  dan sawit koni telah membuat pembangunan di sebuah tempat menjadi sangat temporer, sedangkan perluasan kapital berpindah lewat aturan. Perusahaan kayu di Sawaerma sekarang mengusahakan sawit dan tanaman untuk kebutuhan kertas di Merauke dan Boven Digul. 

Kota Agats menjadi kota terbuka, orang-orang dari Sawaerma berjalan kaki satu hari untuk ‘klayapan di Kota Agast’ tanpa tujuan apapun. Sebagian masyarakat yang pernah bekerja di perusahaan kayu menjadi kaum migran yang membuat kumuh kota. Persoalan yang terjadi sesungguhnya adalah mereka tidak memiliki hak atas tempat karena berlainan suku. Dan pemerintah tidak memiliki uang yang cukup untuk membangun permukiman yang layak sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Papua yang bertumpu pada tanah. Dan tanah yang beralas hak-hak komunal. 

Kembali kepada tesis David Harvey dalam spatio temporal fixity terjadi pemadatan infrastruktur fisik maupun non-fisik. Sehingga Pembangunan ruang kota itu bergantung berada pada kekuatan kapitalis. Yang dimaksud kekuatan kapitalis seperti apa yaitu relasi produksi, alokasi sumberdaya, dan distribusi barnag dan jasa.

Sehingga apakah proses-proses produksi sosial, ekonomi, kebudayaan akan menjadikan kota-kota tersebut sebagai kota yang kehilangan kakinya dalam biografi kota atau menjadi footloose city dimana semua sumberdaya bocor dan tata kelembagaan serta aturan main, termasuk RTRW, pembagian struktur dan pola ruang hanya untuk melayani pemukim baru, yang akan bermigrasi kembali setelah kota hilang daya tariknya, dalam hal ini pengurasan sumberdaya alam, seperti di Sawah Lunto, Lhokseumawe dan Sawerma. 

Konsep serupa dijumpai di Distrik lain dalam pengembangan kota di Kabupaten Boven Digoel. Konsesi mengancam penghidupan berkelanjutan di Bomakia, suku Kombay dan Korowai masih tergantung hasil hutan. Secara umum semua infrastruktur yang ada lebih banyak dimaksudkan untuk mendukung investasi dibandingkan membangun Papua berdasarkan kekuatan sumberdaya Orang Papua Asli. Dengan alasan mendorong dan memajukan suku asli maka dilakukan pembangunan kota melalui perubahan sosial terencana dan terarah, yang sesungguhnya mencerabut kehidupan dan penghidpan berkelanjutan suku-suku asli di Papua.

https://jubi.co.id/hutan-sagu-sumber-kehidupan-dan-penghidupan-masyarakat-suku-kombai-dan-korowai/

https://papua.kabardaerah.com/2018/02/14/masyarakat-boven-digoel-tolak-rencana-pembangunan-bendungan-plta-di-sungai-kao/?msclkid=6094c481c5d711eca7682360a989a370

Kasus-kasus kota baru seperti Asiki dan Gentriti misalnya, kota ini secara terencana dibentuk untuk melayani kepentingan pabrik karet, sawmill, dan sekarang pabrik CPO. Dalam konteks kota pasca kolonial, maka kota-kota ini – juga wilayah Sawaerma diposisikan sebagai kota-kota yang mendukung ‘pusat’ yaitu Negara atau tempat dimana bahan buku itu akan diekspor dari Asiki dan Gentitri. Pembagunan fasilitas PLTA seperti berita di atas juga untuk melayani kota industri ini.

Selain permasalahan kota yang dibangun untuk memasok tenaga kerja, baik lokal maupun dari luar Papua, penyiapan cadangan tenaga kerja di sektor industri perkebunan dan kehutanan, permasalahan kemiskinan atau ‘orang miskin’ dalam terminologi nasional akan menjadi bagian dari pembangunan kota. Budaya ‘dweller’ dalam orang Papua akan sedikit berbeda dengan ‘city dweller’ dalam pengertian sosiologi modern terlebih jika yang dijadikan acuan adalah kota Eropa.

Orang-orang Papua akan berburu dan meramu, klayapan di kota-kota baru, namun bisa jadi dianggap pengganggu oleh budaya yang berbeda, ketika mereka berjalan-jalan di kota. Mereka akan memiliki budaya yang berbeda dengan apa yang diinginkan sebuah kota baru – permasalahannya jika masyarakat tidak diajak berpartisipasi dalam membangun kota mereka sebagai wujud transformasi sosial endogen, bagaimana pengelola kota kelak mengangani hal-hal seperti ini. Kaum ‘miskin kota’ yang tidak memiliki kualifikasi sesuai dengan ‘untuk siapa’ kota itu dibangun. Kota akan menjadi represif dan utopis bagi pemukim OAP.

Memaknai Ruang 

Untuk memaknai sebuah kota, dan menyusun kelembagaan ada tiga hal yang mesti dicari dalam masyarakat, yaitu matterscape, powerscape, dan mindscape. Tulisan ini ingin menyambungkan ketiga fenomena ‘lanskap/geografi’ tersebut dalam kontestasi wacana antar aktor dalam sebuah ruang, terutama dalam relasi produksi. 

Matterscape adalah lanskap dalam realitas fisik, keberadaan fenomena objektif tidak tergantung pada keinginan, suasana hati, subjek individu niat atau kesadaran. Karena itu, hanya ada satu realitas fisik. Sebagai contoh, pohon dan bebatuan ada, baik saya sadari atau tidak, saya suka atau tidak. Matterscape adalah realitas material, digambarkan sebagai sistem fakta yang hukumnya berlaku alam. Dalam lanskap ini, seseorang dapat, misalnya, berjalan, basah atau jatuh di tanah.

Powerscape adalah lanskap dalam realitas sosial. Realitas sosial – atau budaya – terdiri aturan implisit atau eksplisit yang mengatur perilaku mereka yang menjadi bagian dari kelompok yang menerapkan aturan ini. Sebagai contoh, di banyak masyarakat itu dilarang menebang pohon yang tumbuh di tempat umum kecuali ada yang memiliki izin resmi untuk melakukannya. Aturan-aturan ini dibentuk oleh dan merupakan ekspresi kekuasaan. Tanpa kekuasaan, aturan tidak masuk akal: seseorang hanya bisa menebang pohon tanpa ada konsekuensi. Realitas sosial bersifat intersubjektif; yaitu, ia dibuat di antara subyek yang membentuk kelompok sosial. Karena ada banyak kelompok berbeda, ada banyak realitas sosial yang berbeda.  Powerscape adalah lanskap yang diproduksi di masyarakat sebagai sistem norma dan tujuan.

Mindscape adalah lanskap dalam realitas batin. Realitas batin dibentuk oleh kesadaran atau kondisi pikiran; misalnya, pengalaman atau imajinasi pohon dan asosiasi yang terlibat. Realitas batin itu subyektif; itu ada di pikiran hanya subyek. Jumlah realitas batin persis sama dengan jumlah subjek yang sadar di dunia, karena realitas batin adalah produk dari kesadaran. Mindscape adalah lanskap yang orang alami dan bisa sangat pribadi berarti. Ini adalah bentang alam yang dihasilkan oleh pengalaman dan proses pemberian makna. Mindscape adalah sistem yang pada dasarnya nilai-nilai individu, penilaian, perasaan dan makna yang terkait dengan lanskap (Marten Jacobs, 2006).

Konsep Nilai Lanskap diurutkan berdasarkan Tiga Komponen Dasar Bentuk, Hubungan, dan Praktik (Stephenson, 2006)

Senada dengan konsep ruang di atas, ada bentuk analisis ruang yang lebih praktis, sehingga dapat digunakan untuk analisis cepat. Bentuk-bentuk, istilah ini ingin menangkap aspek fisik, nyata atau obyektif dari sebuah lanskap. Ini mencakup fitur alami (termasuk bentang alam dan vegetasi) dan bentuk yang diciptakan oleh atau dihasilkan dari campur tangan manusia (seperti struktur dan kebun). Istilah ini secara sadar inklusif baik budaya dan bentuk alami.

Praktik meliputi kegiatan dan proses yang terkait dengan lanskap. Baik praktik manusia (tindakan, peristiwa dan tradisi) maupun alami proses (geologis, ekologis) secara potensial penting secara budaya. Syarat ‘Praktik-praktik’ mencakup praktik manusia dan proses alami.

Relasi (hubungan) adalah istilah digunakan untuk mencakup kelompok konsep ketiga. Hubungan manusia dengan pemandangan adalah pembuat makna. Ini dapat direpresentasikan dalam banyak cara termasuk spiritualitas, mitos, rasa tempat, penamaan, cerita dan melalui seni seperti sastra dan lagu. Contoh analisis ini bisa dilihat sebagai berikut.

Pilihan tempat untuk kota baru adalah sekitar lima kilometer dari titik nol Boven Digoel, batas ibukota Tanah Merah ke arah sungai Koh. Pilihan disini, mengingat di wilayah Desa Persatuan sudah terdapat Pusat Perkantoran yang masih dalam kondisi dibangun. Sementara kebutuhan masyarakat adalah Kota Baru yang bisa memenuhi kebutuhan bertani dan berladang mereka. Dilihat dari analisis Cultural Value Methods relasi yang dibangun adalah relasi kenangan, sejarah, simbol-simbol yang semuanya menghormati perjuangan Indonesia mencapai kemerdekaan. Relasi ini dikuatkan oleh jawaban aras pertanyaan apakah Kota Baru akan memiliki tema berbeda dengan tema tanah Merah, jawaban peserta adalah tidak, karena Boven Digoel sudah memiliki landmark sebagai Kota Sejarah, tinggal bagaimana membuat hubungan antara Kota Baru dengan sejarah. Dari sisi bentuk peserta diskusi juga memiliki pilihan antara bentuk kontemporer dengan menekankan pada kata ‘modern’ seperti pertanian modern, infrastruktur modern seperti adanya rumah sakit modern. Namun juga  masih menghargai fitur sejarah, baik sejarah modern tentang Indonesia, maupun sejarah mereka sendiri sebagai Orang Papua. Mengembalikan sejarah orang Papua dalam bentuk/ornamen menjadi penting.  Dari sisi praktek juga telah mengenal istilah ‘industri’ yaitu menginginkan adanya pabrik karet dibangun. Juga masih ingin merawat budaya berkebun dan berladang mereka, dengan permintaan bahwa kota baru adalah sebuah kota kebun, dimana mereka tidak terlampau jauh untuk mengambil sagu dan berladang. 

Kebutuhan pengembangan kawasan berdasarkan CVM

RelasiBentukPraktek
Sejarah/Simbol budayaKontemporerIndustri pertanian
Kebutuhan EkonomiMenjadikan kota pusaka sebagai ikon dan industri budaya
Mengkapitalisasi budaya menjadi bagian dari ekonomi kreatif
Perkebunan modern
Perumahan modern dengan memerhatikan fungsi tradisi
Industri hilir perkebunan karet dan sagu
Introduksi tanaman perkebunan yang baru
Model rumah-kebun agar budidaya dekat dengan rumah
Kebutuhan SosialMembuat ruang public yang layak 
Membuat tempat rekreasi 
Mengenalkan ornament adat MandoboMembuat aturan investasi yang sesuai dengan pengaturan sosial, seperti lahan yang tidak pernah diberikan namun dipinjamkan/disewakan
Membuat pengaturan ruang publik untuk semua kalangan
Kebutuhan Ekologi/LingkunganMelakukan restorasi kawasan bersejarah
Membuat kawasan penyangga/buffer zone antara kebun perusahaan dengan sungai dan permukiman 
Kota kebunMendesak perusahaan untuk melakukan FPIC/Padiatapa 
Mengenalkan bentuk-bentuk perkebunan yang lestari 

Masyarakat Mandobo mengenal mitos-mitos tempat sebagai bagian penandaan wilayah mereka, ada banyak cerita seperti ini; batas Kampumg kami adalah di rimbunan pohon palem di tepi sungai, namun palem tersebut bisa berjalan – pada saat tertentu rimbunan pohon palem itu berpindah. Stetelah digambarkan di peta ‘saat tertentu tersebut’ adalah saat banjir, saat sungai yang membentuk meander baru yang menyebabkan rumpun palem itu seolah bergeser. Ada juga saat tertentu adalah ‘pohon palem itu bergeser’ tanpa sebab alamiah. Kesepakatan antar masyarakat yang kemudian menentukan batas-batas tersebut. Ada juga pengertian kesepakatan itu didasarkan karena rimbunan palem yang dimaksud dimiliki oleh keluarga/marga jika terjadi pergeseran yang terpenting adalah komunikasi antar marga.

Aturan seperti ini meliputi bagaimana kekuasaan dibentuk, dirawat, diformasi-ulang. Di dalam Kota Tanah Merah misalnya, masih terdapat Dusun Sagu yang masih dipanen. Mereka membiarkan sagu itu tumbuh dan terus bertunas. Beberapa orang luar mengamati bahwa dusun sagu tersebut sumber sarang malaria, padahal hampir seluruh bagian Tanah merah adalah lahan rawa yang ditimbun. Jika hujan turun beberapa bagian kota yang masih memiliki rawa dan berhubungan dengan sungai kecil masih terlihat buaya. Mengapa masyarakat masih mempertahankan dusun sagu di tengah kota. Pertama, karena sagu merupakan sumber pangan. Kedua, dusun sagu memiliki riwayat penguasaan lahan bagi keluarga tertentu. Ini adalah realitas fisik atau matterscape yang juga berhubungan dengan powerscape: bagaimana wilayah-wilayah diatur, untuk apa, oleh siapa.

Masih dalam memilih cara hidup, misalnya yang berhubungan dengan mindscape. Program-program cetak sawah di wilayah Mandobo dan Tanah Merah sering gagal, masyarakat tidak menyerahkan tanah-tanah lahan kering mereka untuk ditanami padi ladang, karena bukan makanan utama. Sehingga pilihan ahli pertanian adalah cetak sawah (bukan padi ladang) dan untuk mendapatkan lahan ini biasanya sulit. Masyarakat menyerahkan bagian sempadan sungai untuk diolah dan ditanami, satu musim kemudian banjir datang dan program dianggap gagal karena terkena banjir. Dalam kasus ini cara pandang kolektif masyarakat bisa jadi sama, yaitu mengolah sawah dengan pengairan adalah rumit – mereka memiliki bahan pangan sendiri yang beragam, mulai dari olahan sagu, olahan singkong (cassava), dan olahan umbi-umbian lain seperti keladi. Sehingga program cetak sawah itu menjadi sesuatu yang tidak relevan. Semakin sering gagal cetak sawah tersebut semakin tertolak dalam realitas batin, karena realitas fisiknya dianggap tidak ada, ‘hanya proyek’.

Aturan lain yang berhubungan dengan mindscape, powerscape, matterscape seperti ‘jalur leluhur’ misalnya menjadi hilang karena HTI dan perkebunan sawit. Sebagai mindscape jalur leluhur tersebut adalah bagian dari perpindahan kampung-kampung, bisa jdi karena bencana, bisa jadi karena penyakit. Jalur leluhur juga merupakan powerscape karena ada monumen, kuburan tua, bekas kampung yang bisa dihuni kembali oleh keluarga yang memiliki ikatan. Ketika ingin mengembangkan kota Gentetri msialnya masyarakat memulai mengggambar sket dari jalur leluhur – saling bercerita siapa yag pernah menmghuni, berburu di daerah sekitar tersebut, baru menentukan titik – kira-kira dimana arah dan lokasi pengembangan kota Gentitri. Sebuah titik dipilih tidak saja berdasarkan silsilah masyarakat, namun juga sejarah ekologis seperti bencana, perang, atau penyakit yang pernah menimpa kehidupan mereka. Sebuah kekuasaan yang besar seperti perusahaan HTI dan perkebunan sawit menyebabkan hilangnya relasi kuasa mereka dengan tanah, kekuasaan besar ini datang dengan represi dan alat perang – padahal orang Papua yang disebut barbar oleh Belanda dan sulkit maju oleh pemerintah Indonesia (sering oleh elit masyarakat mereka sendiri yang telah mengenyam pendidikan tinggi) mengenal komunikasi, mengenal cara agar hidup bersama dapat dijaga.

Membangun Kota dari Tempat Pembuangan – Misi Kristen – Imperialisme Ekonomi

Sejarah perkembangan kota di Indonesia ditulis dari sisi kolonial, sehingga periodesasi  yang dilakukan memiliki kecenderungan ‘kota modern’ adalah awal peradaban ‘sebuah kota’. Pengetahuan ini dimulai dan disusun oleh berbagai asumsi, tentunya lebih banyak dari sudut pandang Eropa. Dalam laporan statistic Belanda Tahun 1963, Papua di dalamnya termasuk kota Jayapura (sejak pertama kali Kapten Infanteri FJP Sachse mendarat di Teluk Youtefa pada 7 Maret 1910 memberi nama Hollandia. Nama ini terus bertahan selama Belanda masih memerintah di wilayah Nederlands Nieuw Guinea hingga 1963) dan Merauke tidak dimasukkan sebagai kota, namun sebagai daerah penghasil sumberdaya. Tania Murray Li, menyebutnya sebagai Sumberdaya Yes, Manusia No.

Pengkaplingan sumberdaya sebagai kepemilikan privat yang diberikan Negara kepada perusahaan menyebabkan banyak ahli menyatakan bahwa kolonialisme memasuki babak baru, yaitu melewati dictum spatial fixity yang mengharuskan pengaturan kota kolonial, yang bercirikan ditandai dengan benteng dan barak, perkantoran, rumah-rumah, gedung societeit, rumah ibadah sebagai pusat keadaban baru. Dalam konteks tulisan ini pembagian ruang seperti ini dapat dilihat pada kota Tanah Merah, dimana terdapat kamp konsentrasi pertama, yaitu tempat pembuangan Boven Digoel.

Kota kolonial baru ini berubah dalam bentuk, yaitu tidak lagi dengan benteng dan barak. Namun dalam bentuk kota industri yang terintegarsi dengan permukiman bagi kaum pekerja, yang sifatnya enklaf. Seperti dapat dilihat di kota-kota perkebunan di Indonesia, seperti Kota Baru Ketapang Kalbar, Kota Baru di wilayah Riau, sedangkan kota colonial lama mati ketika industri atau bisnis inti mati, seperti di Sawah luntoo. Kota yang relative baru ada Arun di Lhokseumawe yang juga menjadi kota mati. 

Sejak permulaan abad ini sampai tahun 1962, kontak dengan wakil-wakil kebudayaan asing — setidak-tidaknya dari daerah yang lebih jauh dari suku-suku tetangga yang sejak zaman baheula mempunyai hubungan dengan orang-orang Muyu, — itu terjadi dan berkembang dalam rangka pemerintahan kolonial Belanda. Selain itu, para misionaris, yang begitu besar pengaruhnya di daerah Muyu, juga datang dari Nederland. Bahasa asli disertasi (Belanda) sering menggunakan istilah “Barat”, misalnya dalam “pengaruh dan uang Barat”. Secara sederhana, “Barat” menunjuk semua barang dan manusia yang bukan pribumi (Schroll, J.W 1993).

Sedangkan pembabakan lain dalam penulisan sejarah kota di Indonesia adalah  terbentuknya kota tradisional, yaitu dengan kehadiran kerajaan Hindu-Budha selanjutnya Islam.  Arti kota tradisional secara umum sering diartikan adalah kota pusat kerajaan-kerajaan awal di Nusantara atau ibukota kerajaan yang ada hingga datangnya kekuatan Barat. Banyak diantara kota tersebut yang dibangun dengan pertimbangan magis-religius atau makro-kosmos dan kepercayaan setempat. Pola sosio kultural terlihat jelas dalam penataan pemukimannya, misalnya di sekitar istana atau kraton dapat dibangun rumah para bangsawan, pejabat kerajaan, dan juga abdi dalem, tempat ibadah, dan pasar.

Bagaimana dengan kota modern, salah satu ciri khas kota modern adalah pembagian pemukiman yang kebanyakan berdasarkan atas kelas sosial. Terlihat makin tergesernya penghuni kota yang lama oleh penghuni baru yang menempati bagian-bagian kota strategis. Kota modern menyediakan ruang bagi urbanisasi, seiring dengan semakin nyamannya dan terbukanya lapangan pekerjaan, kesempatan hidup yang lebih baik. Sayangnya, kota modern di Indonesia juga menyediakan karpet merah bagi pengembang untuk mengkapling ruang kota dengan alasan pemerintah daerah tidak mampu menyediakan perumahan sosial. Dalam beberapa kali perjumpaan dengan kepala Distrik dan Kepala Kampung, mereka tidak mengetahui sama sekali Perencaaan Ruang, seperti pengkaplingan ruang besar-besaran di Distrik Boven Digoel oleh investor, baik perusahaan nasional maupun multinasional. Mereka tidak pernah tahu seperti apa wilayah mereka dalam 5-10 tahun ke depan.

Aspek-aspek Pembeda dalam Periode Kota

AspekKota TradisionalKota KolonialKota ModernKota Baru 
PermukimanMengelilingi pusat kekuasaan, orientasi arah tanda alamMengelilingi pusat, kekuasaaan dan memiliki orientasi arah  gerejaDalam kontinum kota colonial, terdapat pusat pemerintahan dan periperi
Dalam pengembangan kota baru membuat sub urban
Melanjutkan kota lama, yang bercirikan ‘permukiman kembali’ dan ‘transmigrasi’. Kota lama sebagai ‘bagian kota’. Membuat klaster permukiman sesuai dengan konsep suku Muyu yaitu nuwàmbíp, yang berarti “rumah
kami” (àmbíp = rumah, nu = prefiks kepemilikan untuk orang
pertama jamak).
Aktivitas Ekonomi Utama/Ruang EkonomiPertanianPertanian dan perkebunan untuk Negara Penjajah
Membangun infrastruktu jalan dan pelabuhan untuk memudahkan pengangkutan hasil bumi 
Beragam, terutama jasa perdagangan dan industri pengolahan yang sifatnya assembling/perakitan., dengan kebutuhan ekspor/subtitusi ekspor.  Industri pengolahan yang memprioritaskan pemenuhan kebutuhan lokal dan regional. Kemudian luar Papua (nasional-transnasional)
Ruang SosialDikuasai istana/feodalDikuasai budaya penjajahLebih multikultur, terkelompok secara budaya asal imigran/pendatangMultikultur, mengkonservasi budaya OAP
Arah pertumbuhanHubungan ketergantungan raja dan rakyat

Mengitari pusat/istana
Dominasi kepentingan penjajah

Tersegregasi oleh ras, dipisah oleh benteng
Lebih demokratis, diserahkan kepada pasar

Terpisah oleh kelas sosial
Lebih demokratis, dikendalikan oleh masyarakat/marga dan dewan kota
Linear dan tak terputus oleh kelas, namun oleh marga. 
Simbol kotaKekuasaan istanaKekuasaan penjajah, landmark societitet-gedung pertunjukkan, gedung gubernur jendral, penjaraPusat perdagangan modern, taman kotaKonservasi budaya OAP
Sumber: Data Primer, 2019

Perubahan ekologis Distrik Mandobo menunjukan bahwa kronologis penataan permukiman baru dilakukan setelah Indonesia merdeka, dan dilakukan oleh gereja sebagai agen perubahan. Maksud dari permukiman yang tidak terpencar ini adalah ‘memperadabkan OAP’ sehingga layanan pendidikan, kesehatan, dan rohani dapat lebih mudah dijalankan.

Mindiptana, Tanah Merah dan Distrik Mandobo merupakan lokasi misi Kristen yang paling awal – di barat Papua. Sejak dibangunnya kamp Digoel tahun 1926 sudah terdapat petugas misi yang menemai operasi militer.

Dalam periode eksplorasi-eksplorasi militer pada awal abad ini, Kongregasi Hati Kudus di Merauke tertarik pada daerah Boven Digul. Dalam perjalanan mereka dari Sungai Muyu ke Sungai Alice pada tahun 1913, seorang misionaris bergabung dengan kaum militer. Pada tahun 1923 seorang misionaris lain . mengambil bagian dalam perjalanan ke daerah Muyu. Dalam perjalanan ini diambil jalan pintas dari Sungai Muyu ke Sungai Kao, setinggi Ogemkapa. Kemudian katanya misi telah mendesak pemerintah untuk mendirikan pos di daerah Boven Digul. Menurut laporan, persiapan untuk pos itu bersamaan dengan pendirian kamp interniran Tanah Merah di Boven Digul.

Dalam perayaan Natal tahun 1936 orang-orang Muyu yang pertama dipermandikan, sebanyak 80 anak sekolah. Di desa-desa yang gurunya ada orang Muyu, juga dibaptis orang-orang dewasa. Survei sejarah karya misi menyebutkan bahwa pada Paskah 1943, guru-guru itu minta kepada misionaris untuk menguji sekelompok anak sekolah dan orang-orang dewasa yang sudah belajar agama “dalam waktu kurang dari satu tahun, atau yang lebih lama, sedangkan guru-guru lain mempersembahkan sebagai sukses pertamanya anak-anak sekolah yang masih kecil-kecil, yang paling cepat belajar bahasa Indonesia!” (Schroll, 1993)

Perubahan Ekologis di Distrik Mandobo

TahunPeristiwaSumberdaya TerdampakLokasiPerubahan Yang TerjadiTren PerubahanDampak
Sebelum 1926Adanya tahanan politik dari Jawa yang diasingkan di Tanah Merah. Tanah merah sudah menjadi pusat layanan misi Katholik.Hutan masih bagus, orang masih menyebutnya wilayah liarTanah Merah, KouhMasyarakat berkenalan dengan suku lainMasyarakat Mandobo menjadi terbuka, dan terbanyak digunakan sebagai amtenarMasyarakat lebih terbuka
1963Mulai permukiman dipusatkan di Distrik Mandobo dari wilayah Sungai Digoel dan Sungai Koh oleh gereja. Indonesia mengambil alih, pembangunan terbengkalai. Ditinggalkan kolonialis Belanda. Masyarakat dikenalkan tanaman karet sejak jaman Belanda, dilanjutkan oleh perkebunan, namun pabrik karet sheet akhirnya bangkrut karena faktor pemasaran. Masyarakat diajarkan berkebunKampung lama ditinggalkanDistrik MandoboMasyarakat menengnal kehidupan yang memusat dan tetangga.Masyarakat terbiasa dengan sistem kebertetanggaan. walaupun mereka dalam waktu tertentu mengosongkan kampung untuk meramu dan berburu. Masyarakat memiliki penghasilan dar karet dan mengenal tanaman perkebunan.
1993PT Korindo masukHutan mulai ditebangDistrik MandoboMasyarakat mengenal kata HPH dan pembangunan Jalan-jalan kayu [sekarang sebagian besar menjadi jalan trans Jakarta]. Hutan hilang, binatang buruan hilang, kontrak dengan perusahaan tidak pernah dibicarakan perusahaanMasyarakat kehilangan mata pencaharian
1996/1997Pembukaan hutan, berlangsung masyarakat mulai dikenalkan istilah HPH, tebang pilih, istilah hutan menurut adat mereka hilang, masyarakat dikenalkan ‘kontrak’ yang mesti dipatuhi.Hutan, hutan adat. Masyarakat menyebutkan semua hutan awalnya hutan adat. Diatur oleh pemerintah Indonesia menjadi milik perusahaan.Boven DigoelMasyarakat kehilangan sumberdaya hutan, bukan hanya akses, karena hutannya sudah tidak ada. Masih berlangsung hingga sekarang. Kehilangan ‘pola hidup’ sebagai orang papua.
1998Perusahaan minyak Conoco melakukan eksplorasi, sampai sekarang beum ada realisasi. Situs sejarah tergangguTaman Makam pahlawan Tanah Merah, di situs sejarahMasyarakat bingung mengapa situs sejarah tentang Indonesia di Papua justru dirusak oleh orang Indonesia sendiri. Mash terjadi karena tidak ada perhatian oleh pemerintah daerah. Kerusakan situs sejarah
2002-2014Masyarakat diperkenalkan dnegan berbagai istilah Otda- Otsus, namun yang berkuasa adalah perusahaan bukan Indonesia, mereka diatur oleh blok perusahaan bukan pemerintah Boven Digoel.HutanDistrik MandoboPerusakan alam besar-besaran, sehingga daerah sekitar Tanah Merah menjadi kacau, tidak terurus.Masih berlangsungMasyarakat apatis dengan pemerintah daerah
2014-sekarangMasyarakat menganggap ada perkembangan dalam masa Jokowi 2014-2018 dengan memberikan program dana desa secara terbuka.Perubahan di kampung-kampung untuk koneksi telekomunikasi dan jalan/jembatanDistrik MandoboMasyarakat berani mengungkapkan pendapat, nnamun belum dikikuti oleh keberanian bupati membangun daerah.Masih berlangsung, masyarakat menolak Sawaerma yang konsesinya masuk wilayah di seberang Sungai Koh. Masyarakat menginginkan moratoriaum luas untuk sawit dan HTI.
Sumber: Data Primer, 2019

Masyarakat Mandobo sangat peduli terhadap situs bersejarah di Tanah Merah atau Boven Digoel, sementara banyak catatan yang menyebutkan revolusi  Indonesia  dan persiapan kemerdekaanpun disiapkan mulai dari Tanah Merah. Untuk perubahan ekologi masyarakat sudah menolak perusahaan terutama dengan adanya keputusan masyarakat adat yang mendesak pemerintah Boven Digul untuk mementingkan ‘hak kesulungan’ mereka. Hak kesulungan adalah hak untuk diangkat menjadi pemimpin sebagai bagian dari pewarisan adat (putra daerah OAP yang tinggal di tanah tersebut). Hak kesulungan juga meliputi hal-hal seperti; didahulukan dalam pendapat dan pengambilan keputusan.

Bagi masyarakat Tanah Merah perubahan yang terjadi sekarang adalah hasil dari pengelolaan wilayah yang tidak berpihak pada masyarakat.  Rusaknya alam dan situs bersejarah menjadi keprihatinan masyarakat. Ide kemerdekaan Indonesia dan perkenalan mereka dengan suku-suku lain dimulai sejak tahun 1926, yaitu ketika Boven Digoel dijadikan tempat pengasingan.  

Perubahan dalam kehidupan masyarakat di suku Muyu dan Mandobo dimulai sejak masuknya Belanda ke tanah Merah dan Mindiptana. Masyarakat sebagian besar dididik Belanda untuk membantu misi gereja dan pegawai negeri. Disiplin  dalam dua bidang tersebut membuat masyarakat Mandobo lebih cepat menerima perubahan dan beradaptasi.

Namun sebagian besar masyarakat tetap sebagai petani-peladang/peramu yang masih membutuhkan hutan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Tata ruang kota selama ini semakin menjauhkan mereka dengan hutan dan ladang mereka. Di beberapa tempat di tengah kota masih terdapat sagu, sebelumnya daerah itu adalah daerah pinggiran, perkembangan kota yang dianggap tidak terarah menyebabkan beberapa kawasan dusun sagu tergusur. Di beberapa wilayah, termasuk di Tanah Merah Dusun Sagu merupakan penanda adanya sebuah permukiman, konflik karena perbedaan marga menyebabkan mereka memiliki budaya tinggal memencar dibandingkan dalam satu kesatuan kampung besar.

Mencari Identitas Kota

Pengembangan kota baru, baik dalam artian baru sama sekali maupun dalam pengertian ‘pengembangan’ membutuhkan terminologi yang pas, partisipatif. Mengenalkan kata-kata vernakular misalnya dapat saja dilakukan, namun masyarakat mesti diedukasi dengan konsep desain kota dan implikasinya bagi kehidupan mereka.

Misalnya dalam era kolonial diperkenalkan kata vernakular, secara etimologis, ini berarti ‘bahasa budak’ (dari ‘verna’ dalam bahasa Etruscan, yang berarti ‘budak’). Diperhalus menjadi ‘penduduk asli’. Istilah tersebut celaan atau peyoratif dalam teori postkolonial. Mempelajari bahasa dan budaya kolonial, dalam derajat tertentu adalah mengadopsi agama kolonial (di Papua dikenalkan oleh Belanda sebagai agama Kristen) menjadi bagian untuk integrasi. Indonesia sejak pengambilalihan Irian Barat yang digagas Soekarno dianggap sebagai proyek kolonial oleh masyarakat Papua. Proses ini mengenalkan istilah ‘integrasi kebangsaan’ dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Proses integrasi bahasa Indonesia dan migrasi penduduk dalam program transmigrasi merupakan bagian dari proses integrasi tersebut. Dalam laporan LSM Tapol (1984), Schroll (1993) misalnya terjadi migrasi paksa suku Muyu ke Papua New Guinea, yang berbatasan dengan Kabupaten Boven Digoel, migrasi besar menimbulkan luka dalam, karena diceritakan kembali berulang-ulang oleh Paitua dan Maitua. Proses reuni keluarga biasanya dilakukan lewat upacara perkawinan atau pesta bakar babi. Orang-orang dari Papua New Guini pulang kampung ke Mindiptana dan sekitarnya.

Sejarah demikian seharusnya menjadi pelajaran karena masih ada perlawanan dari sebagian Orang Papua Asli untuk kemerdekaan mereka, padahal kolonialisme terbaru tidak datang dari Negara, namun dari ‘proses globalisasi’ yang mengkapling sumberdaya alam di Indonesia (dimana Papua saat ini masih menjadi bagian dari). Penataan ruang, dalam hal ini desain kota dapat menjadi bagian dari proses belajar bersama, sebagai instrumen rekonsiliasi antara para pihak dan level pemerintahan (Pusat, Regional. Kampung, Marga).

Proses mendesain sebuah kota adalah mencari bahasa lokal, artinya merekalah yang menentukan bagaimana nasib mereka ke depan. Secara nasional, seharusnya mengenyampingkan atau mengganti ‘proyek integrasi’ dengan ‘proyek diversifikasi’ proyek yang mengakui ‘keliyanan’ bahwa orang Papua sanggup mendesain sebuah kota untuk mereka berpijak dari budaya mereka. Tugas perencana hanya fasilitator. Dari sudut pandang intelektual, proyek semacam ini menjadi tantangan akademik, sekaligus tantangan etis, dimana pilihan moral perencana mengabdi pada kepentingan investor semata atau menyeimbangkan berbagai kepentingan, bahkan secara emansipatoris justru membela pihak yang ‘selalu kalah’ dalam berbagai desai perencanaan.

Pengarusutaamaan investasi pasca UU Omnibus Law dalam rezim Jokowi bisa mengembalikan proses demokratisasi dan partisipasi menjadi proses yang berpusat pada Negara dan kembalinya rezim otoritarian dalam perencanaan pembangunan. Proses yang dilewati untuk mendesain kota sesuai dengan nilai dan visi yang diinginkan masyarakat menjadi berantakan, seperti dalam paragraf-paragraf pertama dalam tulisan ini, menjadi footloose city.

https://www.youtube.com/watch?v=ejorQVy3m8E  



The time has come to say fair's fair
To pay the rent, to pay our share
The time has come, a fact's a fact
It belongs to them, let's give it back

How can we dance when our earth is turning?
How do we sleep while our beds are burning?
How can we dance when our earth is turning?
How do we sleep while our beds are burning?

Midnight Oil – Beds Are Burning

Leave a comment